EconomieEnvironnementSocial

Bagaimana Yogyakarta Menghadapi Pandemi?

Himawan S Pambudi, Pegiat LSM di Yogyakarta.

Yogyakarta merupakan kawasan  yang terletak di selatan Pulau Jawa. Daerah ini  membentang dari  Gunung Merapi di sebelah utara sampai  ke selatan yang berbatasan dengan Samudra Hindia. Diyakini ada hubungan imajiner antara keseluruhan garis  yang menghubungkan pusat-pusat kosmologi Jawa, puncak gunung Merapi,  keraton Yogyakarta dan Samudra Hindia (laut selatan). Hubungan ketiganya disebut dengan sumbu imajiner dengan penandanya  berupa tugu dan panggung krapyak.

Kawasan ini didirikan pada 7 Oktober 1756 sebagai kelanjutan dari Perjanjian Giyanti yang membagi wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua, Kasunanan  di sebelah Timur dan Ngayogyakarta di sebelah Barat (Merle C. Ricklefs,  1974). Yogyakarta kemudian berkembang menjadi daerah dengan keistimewaan politik Indonesia karena peranannya dalam revolusi kemerdekaan.

Yogyakarta di patahan (fault) dan gunung paling aktif  sebagai penanda cincin api  (ring of fire)  Pasifik , menjadikan kawasan ini berisiko terhadap bencana alam, terutama gempa bumi dan letusan Gunung Merapi.  Pada 27 Mei 2006,  Yogyakarta dilanda gempa bumi tektonik dengan skala Richter 6,2 yang menyebabkan 6234 orang meninggal dan ribuan orang lainnya kehilangan tempat tinggal. Empat tahun kemudian,  tepatnya 5 November 2010,  giliran Gunung Merapi meletus menyebabkan 277 orang meninggal dan ribuan lainnya mengungsi. Penulis mengikuti dua bencana tersebut dari dekat sebagai orang terdampak ataupun menjadi komunitas relawan.

Setiap kali terjadi peristiwa bencana di Yogyakarta, muncul solidaritas di kalangan masyarakat atau relawan. Pada gempa tahun 2006, penduduk dari pinggiran kota Yogyakarta yang tidak terdampak secara langsung, karena jauh dari episentrum gempa, mendirikan rumah-rumah darurat dari bambu (Bambuseae) yang ditebang di kebun-kebun warga. Petani di lereng gunung menyumbang sayuran dan mendirikan dapur-dapur umum di berbagai titik. Mahasiswa mendirikan trauma healing untuk anak-anak agar segera pulih dan dapat kembali bersekolah. Masyarakat sipil membantu pusat-pusat pemerintahan agar segera dapat mendata dan melayani warga. Berbagai organisasi kerelawanan didirikan dan diaktifkan oleh masyarakat di berbagai tempat untuk menjangkau warga yang paling terdampak akibat gempa. Tidak sampai satu tahun sejak gempa terjadi, ekonomi dan aktivitas masyarakat kembali seperti sedia kala menuju ke pemulihan.

Letusan Gunung Merapi yang terjadi tahun 2010 juga menunjukkan fenomena yang sama. Ribuan dapur umum dan tempat pengungsian didirikan untuk menampung warga dari desa-desa di lereng gunung Merapi. Warga dari berbagai tempat menjaga kampung-kampung dari ancaman kejahatan, seperti pencurian karena ditinggal mengungsi oleh penduduknya. Solidaritas sosial tersebut selalu muncul ketika Yogyakarta menghadapi  bencana, termasuk di masa pandemi Covid-19 sekarang ini.

Dari mana solidaritas itu muncul dan berkembang? Yogyakarta adalah pusat  kebudayaan Jawa dan seluruh nilai-nilainya. Di Jawa, tradisi sambatan dikenal sebagai solidaritas sosial paling primitif dalam masyarakat. Koentjaraningrat (1994) mengatakan  bahwa salah satu bentuk interaksi berkomunal yang intinya membantu orang yang sedang membutuhkan banyak tenaga.  Banyak dipakai di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kecuali di wilayah barat yang berdekatan dengan Jawa Tengah, sambatan diistilahkan sebagai ‘rewang’ di sebagian besar masyarakat Jawa Timur. Kegiatan ini pada awalnya adalah bekerja sama membongkar rumah karena akan diperbaiki. Sang pemilik rumah akan meminta kepada beberapa tetangga dekat untuk ikut membantu membongkar rumah (Koentjaraningrat, 1994). Selain sambatan, bentuk komunalisme sosial  lain yang kita jumpai dalam masyarakat Jawa adalah merti desa (merawat desa), sadranan, slametan, ataupun sumbangan. Sekalipun dalam beberapa hal, tradisi tersebut telah memudar bahkan menjadi komersial.

Ketika pandemi Covid-19 terjadi, solidaritas tersebut muncul dalam berbagai bentuk kerelawanan, seperti bantuan sembako, dapur umum, pangan gratis, pendampingan difabel, bantuan kelompok usaha mikro, dan bantuan Kesehatan. Kadang kala bantuan-bantuan tersebut dikoordinir dan datang lebih cepat dari apa yang dilakukan oleh pemerintah. Birokrasi yang rumit dan penuh kepentingan menjadi penghambat paling serius dari setiap langkah pemerintah menghadapi situasi darurat akibat bencana.

Menghadapi Pandemi Covid-19?

Pemerintah Indonesia mengumumkan kasus pertama Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada 2 Maret 2020. Pengumuman itu diikuti  kebijakan untuk mencegah meluasnya virus, salah satunya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sekalipun telah dilakukan berbagai upaya untuk mencegah penyebaran virus, sampai  11 September 2020 saat tulisan ini dibuat jumlah orang yang terpapar mencapai lebih dari 3500 orang per hari dengan total kasus mencapai 211 ribu, sembuh 150 ribu, dan yang meninggal 8. 544 (laporan Satgas nasional).

Di Yogyakarta, tanggap darurat terhadap bencana Covid-19 dimulai tanggal 20 Maret 2020 dan berlangsung sampai sekarang. Minggu -minggu awal penyebaran virus, banyak orang kebingungan dan khawatir. Fasilitas kesehatan yang terbatas, tidak adanya informasi yang akurat tentang virus, dan pernyataan pemerintah yang berganti-ganti, membuat sebagian besar warga merasa cemas dan melakukan aksi  menimbun bahan makanan pokok. Bila di Prancis yang banyak ditimbun adalah pasta dan tepung gandum, di Indonesia adalah beras dan mie instan.  Akibatnya mereka yang memiliki daya beli rendah kesulitan untuk mendapatkan suplai makanan.

Setelah masalah ketersediaan pangan teratasi, mulai muncul gelombang PHK dan penambahan jumlah orang miskin, khususnya mereka yang bekerja di sektor informal akibat kehilangan pendapatan. Mereka adalah penarik becak (kendaraan roda tiga yang ditarik dengan tenaga manusia), anak jalanan, buruh perempuan di pasar, dan kaum miskin kota di area kumuh. Berbagai kelompok relawan sosial di Yogyakarta mengambil inisiatif untuk membantu kelompok-kelompok miskin dalam menghadapi pandemi Covid-19. Di antara mereka saya berkesempatan mengenal lebih dekat  Solidaritas Pangan Jogja (SPJ), Sambatan Jogja (SONJO).

SPJ dibentuk kelompok mahasiswa  yang membentuk dapur umum di beberapa titik kota Yogya untuk membantu kelompok-kelompok miskin perkotaan bertahan terhadap pandemi Covid-19. Akibat pembatasan sosial yang dilakukan oleh pemerintah, pekerja informal perkotaan merupakan kelompok yang paling terdampak. Hampir semuanya kehilangan pendapatan karena masyarakat menahan diri untuk beraktivitas. Melalui dapur umum yang didirikan oleh SPJ, mereka mendapatkan bantuan makanan secara terbatas setiap hari. SPJ mendapatkan bahan makanan mentah dari sumbangan petani dan masyarakat di berbagai wilayah, khususnya petani-petani yang berada di lereng gunung dan pantai selatan yang menghasilkan sayuran berkualitas tinggi. SPJ dipimpin oleh Ita Fatia Nadia, seorang pegiat perempuan Indonesia yang bermukim di Yogyakarta untuk mengambil peran sosial dengan mendirikan berbagai inisiatif  komunitas.

Selain SPJ, inisiatif yang sama adalah SONJO, didirikan oleh Rimawan Pradiptya, pengajar Fakultas Bisnis Universitas Gajah Mada. SONJO ini merupakan gerakan kemanusiaan fokus pada upaya membantu masyarakat yang rentan dan berisiko terhadap dampak penyebaran Covid-19 di Yogyakarta yang pertama-tama fokus pada bantuan  pengadaan peralatan medis bagi tenaga Kesehatan.  Dengan prinsip empati, solidaritas, dan gotong royong, SONJO bergerak membantu masyarakat untuk menghadapi pandemi Covid-19. Kekuatan SONJO adalah jaringan  yang dibentuk melalui media sosial untuk menyebarkan informasi situasi darurat terhadap berbagai komunitas dan mendorong antar warga dan komunitas saling membantu menyelesaikan persoalan. Setelah kasus-kasus darurat kesehatan teratasi, SONJO mulai bergerak ke bantuan pemulihan ekonomi, khususnya pengusaha kecil yang terdampak akibat pembatasan sosial.

Relawan lain yang unik adalah Mari Berbagi. Mari Berbagi mengembangkan inisiasi berbagi makanan antar warga dengan menyediakan kotak-kotak makanan yang boleh diisi dan diambil oleh siapa pun yang membutuhkan. Kotak-kotak makanan diletakkan di tempat-tempat strategis yang mudah dijangkau orang sehingga siapa pun dapat mengisinya dan mengambilnya secara gratis. Program ini sangat membantu kelompok miskin dan mereka yang bekerja di sektor informal untuk mendapatkan makanan sederhana secara gratis.  Program “ambil gratis dan semua boleh isi” juga muncul di komunitas-komunitas kampung untuk berbagi dengan tetangga, atau dikenal dengan Jogo Tonggo (jaga tetangga). Warga menyediakan tempat untuk menempatkan sayuran, makanan instan, makanan pokok, dan lain-lain, warga lain yang membutuhkan bisa mengambilnya secara gratis untuk diolah menjadi makanan di rumah.

Puluhan kerja serupa terus dilakukan di Yogyakarta dalam bentuk  yang beragam, mulai dari bantuan sembako, bantuan kesehatan, membangun pasar digital, menyediakan bantuan internet secara gratis, dan beragam kegiatan yang dilakukan oleh komunitas relawan selama masa pandemi Covis-19. Komunitas  yang dapat disebut adalah Komite Kemanusiaan Yogyakarta (KKY), Ayo Bantu Satunama, Madura Care, dan berbagai inisiatif lainnya. Ada pula gerakan beberapa fotografer profesional yang membantu pedagang makanan jalanan untuk membuat foto yang bagus dari dagangannya agar bisa dipasang di media sosial dalam upaya promosi untuk meningkatkan penjualan.

Hingga 16 Oktober 2020, angka penambahan Covid-19 di Indonesia masih tinggi  dengan jumlah penambahan kasus per hari mencapai lebih dari 4.000.  Dan pada hari yang sama, total kasus di Indonesia mencapai 353.000 lebih dan diperkirakan angka tersebut hanya sekitar 2% dari kasus yang sebenarnya. Beberapa rumah sakit sudah mulai penuh dan angka kematian tetap  tinggi, sementara pembatasan sosial mulai kembali diberlakukan. Peran masyarakat dalam membangun solidaritas sosial sangat penting Ketika pemerintah masih mengurusi masalah kesehatan dan ekonomi makro. Solidaritas yang membesar di lapangan adalah harapan untuk keluar dari krisis ini tapi hal itu juga gambaran tidak berjalan baiknya sistem formal negara yang berlaku.

Editor: Mulyandari Coetmeur

Photo: Stéphane Roland, Himawan Pambudi

Leave a reply

Votre adresse e-mail ne sera pas publiée. Les champs obligatoires sont indiqués avec *

More in:Economie

You may also like